Beban Sejarah & Hubungan Tegang RI-Belanda

Jakarta – Sejak Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, hubungan dengan pemerintah Kerajaan Belanda selalu mengalami pasang surut. Hubungan Indonesia dan Belanda terjalin sangat baik justru terjadi pada era Orde Baru yang….. dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Namun, bukan berarti itu tidak bermasalah. Ketegangan sempat terjadi ketika kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) akan mendemo kedatangan Presiden Soeharto pada 1978. Begitu juga pembubaran Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) oleh Soeharto yang membuat berang pemerintah Belanda di awal 1990-an.

Hubungan bilateral kedua negara terus terjalin hingga sampai sekarang. Namun lagi-lagi, hubungan kedua negara ini tercoreng dengan adanya permintaan penangkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kunjungannya ke Belanda. Permintaan penangkapan itu diajukan RMS di Pengadilan Den Haag, dan sidangnya berbarengan dengan kunjungan SBY di sana. Tidak mau dipermalukan, Presiden SBY pun membatalkan keberangkatannya dengan alasan takut melukai harga diri bangsa.

Bagaimanakah sebenernya hubungan kedua negara ini pascapembatalan kunjungan tersebut? “Saya tidak mau komentar soal itu. Sikap pemerintah kita sudah disiarkan di website kedutaan besar kami. Silakan dilihat di sana,” kata Atase Penerangan Kedutaan Besar (Kedubes) Belanda, Paul Peters yang dihubungi detikcom di Jakarta, Sabtu (9/10/2010).

Pada website Kedubes Belanda atau Koninkrijk der Nederlanden (www.mfa.nl) pada tanggal 8 Oktober 2010, terpampang siaran pers yang isinya sebagai berikut.

“Pemerintah Belanda menerima surat dari Yang Mulia Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia yang menginformasikan kepada Perdana Menteri Belanda dari keputusannya untuk menunda kunjungan kenegaraan ke Belanda. Pemerintah Belanda menyesalkan, bahwa Presiden merasa wajib untuk menjadwal ulang kunjungan, seperti ditunjukan juga oleh presiden, untuk menetapkan tanggal baru kunjungan kenegaraan.

Kami sangat menyambut pemerintah Indonesia yang menegaskan kembali hubungan bilateral suara antara Indonesia dan Belanda. Kami percaya bahwa hubungan yang sudah baik dan hangat antara kedua negara kita akan terus berlanjut”.

Sejauh ini hubungan luar negeri bisnis kedua negara terus berjalan dengan baik. Setidaknya hal ini yang diakui oleh Juru Bicara Kepresidenan Bidang Hubungan Luar Negeri Teuku Faizasyah, bahwa kerjasama kedua negara tidak terpengaruh atas upaya rongrongan dari RMS.

“Ya ke depannya bisa tetap lebih baik. Yang penting, dinamika di dalan negeri Belanda sendiri untuk menyelesaikan persoalan RMS ini dengan baik. Bisa menghasilkan suatu konklusi yang baiklah,” kata Teuku Faizasyah saat bincang-bincang dengan detikcom.

Terkait sering kalinya gerakan RMS ini mengganggu hubungan bilateral kedua negara, Faiz mengatakan, Indonesia sebenarnya sangat mengharapkan adanya suatu sikap yang lebih, agar tidak ada lagi upaya-upaya untuk merongrong hubungan bilateral kedua negara ini.

“Ke depan harus dipastikan tidak ada lagi kelompok anti Indonesia, seperti RMS melakukan perongrongan itu. Jadi sebenarnya ini tidak ada masalah. Hubungan pemerintah dan bisnis sampai sekarang tetap jalan, kita tidak terganggu dengan itu,” ujarnya lagi.

Faiz mengakui, selama ini gerakan kelompok seperti RMS di luar negeri terus memanfaatkan situasi politik di negara bersangkutan, khususnya Belanda. Jadi seharusnya dibedakan, mana ruang demokrasi untuk berpendapat dan mana upaya untuk merongrong NKRI.

Kelompok RMS di negeri Kincir Angin ini memang mengklaim memiliki kekuatan yang banyak. Walau bukan kelompok separatis bersenjata, namun kelompok yang melakukan perlawanan politis dan diplomasi ini, dinilai membahayakan. Apalagi mereka sekarang merupakan generasi ketiga yang tinggal di Belanda. Sebagai warga Belanda mereka memiliki ragam profesi sebagai pekerjaannya, mulai tentara, polisi hingga pengacara.

Menurut pemerintah Indonesia, RMS adalah kelompok kecil saja. Sebab, kelompok ini tidak lagi mendapat dukungan pemerintah maupun masyarakat Belanda. “Tidak semua generasi ketiga keturunan Maluku di Belanda masuk RMS. Lebih banyak yang tidak peduli,” tandasnya.

Presiden SBY, lanjut Teuku Faizasyah, tetap terus mengikuti perkembangan yang terjadi di Belanda itu. Presiden SBY tetap mengatakan hubungan bilateral terus berjalan. Namun yang penting, hubungan bilateral ini diharapkan tidak dilakukan secara terbatas pada hubungan formal, tapi juga saling menghormati satu sama lainnya.

Hubungan bilateral Indonesia-Belanda memang sering diganggu oleh aksi-aksi RMS. Juga oleh problem psikologis masa lalu, di mana Belanda pernah menjajah Indonesia. Namun, Indonesia-Belanda telah lama berupaya mempererat hubungan dengan menyamakan cara pandang. Hal ini antara lain ditandai dengan kehadiran Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot pada perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2005 silam.

Bernard Bot juga telah menyampaikan pengakuan secara de facto atas kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pengakuan tersebut akan diperkuat oleh dokumen tertulis yang bakal ditandatangi Indonesia dan Belanda tentang pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ini akan menyudahi berpuluh tahun pengingkaran Belanda yang hanya mengakui penyerahan kedaulatan kepada Indonesia di Istana Dam, Amsterdam, pada 27 Desember 1949 setelah pelaksanaan Konferensi Meja Bundar.

Pengakuan tertulis yang akan ditandangani Presiden SBY dan Pemerintah Belanda awal Oktober 2010 itu, telah lama dirundingkan kedua negara sejak 2009. Pengakuan yang diharapkan menghilangkan beban sejarah itu pun akan ditindaklanjuti dengan penandatanganan perjanjiaan kemitraan komprehensif antara Indonesia dan Belanda agar kedua negara semakin mempererat dan memperluas kerjasama di masa depan.

“Yang signifikan adalah penandatanganan perjanjian komprehensif. Karena kedua negara ini bisa melihat ke depan, tidak lagi terseret-seret oleh beban sejarah dan menunjukkan kedewasaan hubungan kedua negara,” jelas Teuku Faizasyah lagi.

Dari catatan sejarah, hubungan Indonesia dan Belanda sangat akrab, saat munculnya pemerintahan Orde Baru. Setelah berhasil membasmi kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI), pemerintahan Orde Baru bersiap-siap menjalin kerja sama dengan blok Barat. Untuk itu, Indonesia bersedia membayar ganti rugi atas nasionalisasi perusahaan asing.

Blok Barat merangkul penguasa Orde Baru dan siap membantu pembangunan ekonomi Indonesia. Pada 1967 terbentuk kelompok negara dan lembaga internasional, Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI). Sejak saat pendirian, Belanda menjadi ketua kelompok ini, dan sidang IGGI, selalu berlangsung di Belanda.

Pada 1970, Presiden Soeharto melakukan kunjungan kenegaraan ke Belanda. Pada tahun berikutnya, Ratu Juliana, melakukan kunjungan balasan ke Indonesia. Waktu terus berjalan, banyak kalangan di Belanda pun mulai menyaksikan secara kritis perkembangan di Indonesia, seperti korupsi yang merajalela, pelanggara HAM, operasi pembunuhan misterius (Petrus) tahun 1980-an.

Puncaknya, ketika Belanda mengecam keras peristiwa penembakan terhadap para demonstran di kompleks pemakaman Santa Cruz Dili, Timor-Timur (sekarang Timor Leste) pada 12 November 1991. Pemerintah Indonesia tersinggung dengan kecaman Belanda itu, yang akhirnya Presiden Soeharto pun pada Maret 1992 membubarkan IGGI.

sumber:detiknews.com

Leave a comment